Menimang buah hati masih menjadi keinginan mayoritas pasangan 
suami-isteri yang menikah. Kehadiran anak, bahkan, dianggap sebagai 
penanda kesempurnaan sebuah rumahtangga. Sayangnya, keluarga muda kerap 
lupa bahwa dengan kehadiran anak berarti ada tanggung jawab finansial 
lebih yang harus dipersiapkan, mulai dari pemenuhan kebutuhan primer 
hingga kebutuhan pendidikan di masa yang akan datang.
Kalau keluarga muda tak memiliki kesadaran finansial, bukan tak 
mungkin justru kebutuhan anak menjadi telantar. Anda tentu tak ingin hal
 ini menimpa pada sang buah hati bukan? Karena itu, ketika anak  pertama
 mulai hadir dalam keluarga muda, mereka mesti menilik neraca keuangan.
  
Perencana keuangan dari Taatadana Consulting Felicia Imansyah 
mengatakan, awal pernikahan merupakan masa penting pembangunan pondasi 
keuangan keluarga untuk masa yang akan datang. Sebab, makin lama 
kebutuhan keluarga akan semakin kompleks dengan bertambahnya anak, usia,
 dan kebutuhan hidup. “Karena itu, keluarga muda harus hemat dan cermat 
sejak awal berkeluarga,” kata perempuan yang biasa disapa Lici ini.
Perencana keuangan dari Fin-Ally Financial Planning and Consulting 
Pandji Harsanto mengoreksi kebiasaan tidak baik yang dilakukan keluarga 
muda ketika mendapatkan anak pertama, yakni membeli kebutuhan untuk sang
 buah hati secara berlebihan. Sebut saja, membeli pakaian dan 
perlengkapan bayi hingga menumpuk. Padahal, masa pertumbuhan yang cukup 
pesat pada usia bawah lima tahun (balita) menyebabkan sandang tak akan 
dipakai dalam waktu yang lama.
Saran Pandji, sebaiknya keluarga membeli keperluan bayi secukupnya 
saja. “Kalau dapat pinjaman stroller dari saudara misalnya, tidak perlu 
malu memakainya. Atau, bisa menyewa saja perlengkapan bayi,” kata 
Pandji. Kekeliruan yang dilakukan keluarga muda tersebut biasa terjadi 
karena saking senangnya mendapatkan momongan.
A. Pos-pos penting
Alih-alih memboroskan uang untuk keperluan yang bersifat sementara, para
 perencana keuangan menyarankan agar keluarga segera melengkapi pos-pos 
kebutuhan yang bertalian dengan kepentingan anak. Nah, berikut ini 
beberapa pos yang harus segera dialokasikan:
  
1. Menambah dana darurat
Sebelum melebarkan sayap dengan membeli proteksi atau berinvestasi, 
keluarga wajib memiliki dana darurat. Dana darurat ini bertujuan untuk 
kas cadangan jika sewaktu-waktu sumber pendapatan terganggu.
Perencana keuangan mengatakan ketika keluarga muda belum memiliki 
anak, dana darurat bisa dicadangkan tiga hingga enam kali dari total 
pengeluaran bulanan. Jadi, semisal pengeluaran bulanan Rp 7 juta maka 
dana darurat yang mesti terkumpul Rp 21 juta – Rp 42 juta.
Namun, ketika sang buah hati mulai melengkapi hidup keluarga Anda, 
dana darurat harus segera diinjeksi lebih banyak menjadi enam hingga 
sembilan kali. Masih dengan contoh yang sama, yakni pengeluaran bulanan 
Rp 7 juta, maka dana darurat yang harus dipenuhi adalah Rp 42 juta – Rp 
63 juta.
Pandji memaklumi pemenuhan dana darurat sebanyak sembilan kali tak 
akan mudah bagi semua keluarga muda. Solusi dia, pada permulaan bisa 
dikumpulkan 30% dari sembilan kali dana darurat dulu. Atau, jika 
melanjutkan contoh dia atas, dana darurat yang harus dipenuhi di awal 
sebesar Rp 18,9 juta.
Nah, sambil jalan, keluarga muda bisa memenuhi porsi yang disarankan 
tersebut. Dengan modal 30% dari dana darurat sudah terpenuhi saja, 
keluarga muda bisa menginjak pada pos selanjutnya, yakni membeli 
asuransi jiwa.
Catatan Lici, dana darurat harus likuid alias mudah dicairkan. Karena
 itu, dia menyarankan dana ditempatkan di tabungan, deposito, logam 
mulia, atau reksadana pasar uang.
  
2. Membeli asuransi jiwa
Ketika mulai memiliki anak, sebaiknya keluarga membeli asuransi jiwa. 
Asuransi jiwa ini  bertujuan untuk melindungi risiko finansial si 
pencari nafkah dalam keluarga. Dengan harapan, jika terjadi sesuatu pada
 pencari nafkah yang menyebabkan sumber pendapatan macet, ada asuransi 
yang bisa menggantikan fungsi tersebut.
Uang pertanggungan asuransi bisa dimanfaatkan untuk memenuhi 
kebutuhan hidup si anak hingga dewasa. Saran Lici, keluarga harus 
menghitung benar proyeksi kebutuhan anak hingga dewasa. Besaran uang 
pertanggungan (UP) yang diinginkan tersebut akan mempengaruhi berapa 
besar premi yang mesti dialokasikan. Sebab, besar-kecil premi ini tentu 
akan menggerus pemasukan bulanan keluarga.
Jika kondisinya suami maupun isteri bekerja, apakah perlu 
masing-masing membeli asuransi jiwa? Perencana keuangan dari Fahima 
Advisory Fauziah Arsiyanti bilang, tergantung fungsi dari masing-masing 
gaji. Bila gaji suami dan isteri menjadi sumber pokok pemenuhan 
kebutuhan keluarga, masing-masing wajib membeli asuransi jiwa. 
Sebaliknya, jika salah satu gaji tidak menopang pemasukan keluarga 
secara signifikan, pemilik gaji tidak perlu membeli asuransi jiwa.
Pandji menambahkan, bahkan bisa saja, baik suami maupun isteri, tak 
membeli asuransi jiwa. Dengan catatan, “Selama memutar roda ekonomi, ada
 passive income dari kepemilikan aset yang jumlahnya jauh lebih besar 
dari gaji bulanan,” terang Pandji.
Selain asuransi jiwa, asuransi lain yang wajib ditambahkan adalah 
asuransi kesehatan bagi si buah hati. Rata-rata perusahaan asuransi 
mensyaratkan minimal usia kepesertaan asuransi kesehatan adalah 30 hari.
 Sebaiknya, sejak usia tersebut anak dibelikan asuransi kesehatan. Saran
 perencana keuangan, keluarga bisa membeli asuransi kesehatan kumpulan. 
Dengan begitu, premi yang dibayar bisa lebih mini.
3. Investasi pendidikan
Bukan cuma kebutuhan sandang atau pangan anak yang menyedot dana besar, 
tapi juga pendidikan. Perencana keuangan menyarankan, sejak anak hadir 
dalam hidup Anda, harus segera dibikin pos dana pendidikan. Lici bilang,
 investasi pendidikan bisa dibagi berdasar jenjang pendidikan, misal 
tingkat play group, TK, SD, SMP, SMU, dan perguruan tinggi.
Pemilihan keranjang investasi bisa disesuaikan dengan jenjang 
pendidikan tersebut. Makin jauh jenjang pendidikan yang akan dituju 
tentu pilihan keranjang investasi bisa makin agresif dengan harapan 
mendapat imbal hasil lebih besar. Pilihan produk investasinya, seperti 
logam mulia untuk jangka pendek, reksadana campuran untuk jangka 
menengah, dan reksadana saham untuk investasi jangka panjang.
Jika keluarga muda kesulitan memenuhi semua jenjang investasi 
pendidikan sekaligus, keluarga bisa mencicil dari pos investasi 
pendidikan terjauh dulu. Misal, dari berinvestasi untuk pendidikan di 
perguruan tinggi kemudian berkelanjutan hingga jenjang pendidikan 
terdekat. “Sebab dana investasi di jenjang pendidikan terjauh justru 
yang terkecil,” kata Pandji.
  
B. Mengencangkan ikat pinggang
Penambahan ketiga pos pengeluaran yang harus dicadangkan tersebut tentu 
akan membengkakkan pengeluaran keluarga. Jika sumber pendapatan Anda 
tetap, artinya harus ada strategi yang harus dilakukan. Dengan tujuan, 
semua pos terpenuhi tapi kebutuhan pokok tak terganggu.
Pandji menawarkan tiga solusi. Pertama, mengurangi 
pengeluaran. Misal, saat belum punya anak, Anda dan pasangan punya hobi 
makan malam di restoran atau rekreasi, kebiasaan ini bisa dikurangi. 
Tilik ulang pengeluaran, seperti penggunaan telepon pascabayar atau 
kebutuhan hiburan, seperti berlangganan televisi berbayar.
Kedua, menurunkan kelas konsumsi. Taruh kata, Anda dan 
pasangan semula ke mana-mana hampir selalu mengendarai mobil, padahal 
punya sepeda motor juga. Nah, apa salahnya mengganti kebiasaan dengan 
lebih sering mengendarai sepeda motor saja?
Ketiga, menghilangkan kebutuhan. Kalau kedua cara sebelumnya
 tak manjur juga menekan pengeluaran, sepertinya Anda dan pasangan harus
 rela menghilangkan beberapa kebutuhan. Misal, semula Anda  hobi 
mengoleksi sesuatu yang menguras uang, kini, itu bisa dihilangkan. 
Keputusan ini tentu menuntut keikhlasan. Ibarat pepatah, berakit-rakit  
ke hulu, berenang ke tepian. Prihatin dahulu, sejahtera kemudian.
Sumber dari : www.pandjiharsanto.com