Berutang, bagi sebagian orang, masih dinilai sebagai hal yang tabu. Utang di mata  beberapa kalangan identik dengan ketidakmampuan keuangan dan stigma miskin alias kekurangan.
Tentu, tidak ada yang salah dari anggapan itu. Anda
 pasti tahu, arti harfiah dari utang alias Liabilitymemang berarti 
kekurangan. Namun, perkembangan dunia keuangan telah menempatkan utang 
sebagai salah satu bagian strategi meningkatkan kepemilikan aset, yakni 
apa yang disebut leverage atau daya pengungkit.
Jamak kita menemui, perusahaan membiayai modal 
usaha dari utang. Dari hasil ekspansi usaha itu,perusahaan bisa mencetak
 margin sekaligus membayar utangnya. Cara itu lazim ditempuh oleh 
korporasi.
Bagi individu, strategi yang sama juga ditempuh. 
Fasilitas kredit alias utang dalam beragam kemasan atawa produk makin 
akrab di kehidupan kita sehari-hari.
Berani bertaruh, sekarang ini jarang sekali kita 
menemui kenalan atau kolega yang tidak memiliki tanggungan utang. Kartu 
kredit, kredit pemilikan rumah, kredit pemilikan kendaraan, kredit modal
 kerja, kredit tanpa agunan, hingga utang di koperasi tempat kerja 
adalah jenis-jenis utang yang  kerap dimiliki oleh perorangan.
Singkat kata, berutang tidak lagi terhitung sebagai tabu yang ditulis dalam huruf besar. Berutang  bukan pantangan dalam perencanaan keuangan. Dengan berutang secara sehat atau sesuai kemampuan,  kita
 bisa menaikkan kemampuan keuangan. Namun, di sisi berseberangan, 
berutang tanpa perencanaan yang baik malah bisa menjerumuskan kita ke 
titik kebangkrutan. “Utang bagai senjata yang bisa kita gunakan membela diri, namun bisa pula melukai 
si pemakai,” ujar Diana Sandjaja, perencana keuangan MRE Financial &
 Business Advisory, beranalogi.
Maka itu, sebelum memanfaatkan utang, pengenalan karakteristik diri dan 
kondisi keuangan mutlak kita lakukan. Jangan sampai terjadi, utang yang 
semula ingin Anda manfaatkan untuk menciptakan performa keuangan yang 
lebih baik justru berbalik menjadi sumber kesengsaraan Anda.
A. Utang tetaplah utang
Kendati bisa membantu kita mendongkrak kemampuan 
keuangan, utang tetaplah utang. Utang sejatinya sama saja dengan barang 
atau komoditas biasa di pasar. Para penjualnya, yakni kreditur,  membanderol
 produk utang yang harus dibayar si pembeli (debitur) dalam bentuk bunga
 kredit. Para kreditur juga berlomba menawarkan fasilitas utang dengan 
harga alias bunga kompetitif.  Berpikir, mempelajari, dan menimbang cermat beberapa prinsip penting harus dilakukan sebelum memutuskan untuk berutang.
Pertama, sama halnya dengan keputusan membeli 
sebuah barang, hal prinsip yang harus Anda jawab sebelum berutang adalah
 apakah Anda sungguh-sungguh membutuhkan utang tersebut? “Berutanglah 
hanya dalam kondisi mendesak dan butuh,” saran Eko Endarto, perencana 
keuangan Finansia Consulting.
Kedua, periksa kondisi keuangan Anda. Jika
 memang memutuskan berutang, pastikan Anda memiliki kemampuan untuk 
membayarnya berikut risiko-risikonya.
Kesalahan yang sering terjadi pada orang yang 
agresif berutang adalah mereka kurang menimbang risiko-risikonya. Baik 
dari risiko bunga maupun risiko kesinambungan sumber penghasilan yang 
digunakan untuk membayar utang. Mereka mengira, kondisi penghasilannya 
akan tetap stabil selamanya. Padahal, risiko pemutusan hubungan kerja 
(PHK) atau kebangkrutan bisnis tidak bisa 100% hilang. “Jangan pernah mempertaruhkan 
pendapatan yang tidak pasti dengan beban pembayaran
Ketiga, cermati 
tawaran fasilitas utang yang hendak Anda ambil. Lakukan riset dan 
perbandingan dengan tawaran bunga kredit sejenis di pasar. Jangan sampai
 Anda tergiur berutang hanya karena  terbujuk rayuan klaim 
bunga murah. Untuk itu, penting sekali mempelajari skema cicilan hingga 
Anda bisa berhitung cermat efek utang tersebut pada kondisi kocek Anda 
di masa mendatang.
Di sisi lain, jika saat ini posisi kolom utang Anda sudah terisi berbagai macam jenis utang,  memeriksa dan mengecek kesehatan utang hukumnya wajib. Apa saja yang perlu kita lakukan untuk  memastikan
 kondisi keuangan berikut utang kita, terjaga dalam kondisi aman? Mari 
kita simak bersama kiat dari para perencana keuangan, sebagai berikut.
1. Cek jenis utang
Utang menilik penggunaannya bisa dibedakan menjadi 
dua macam, yaitu utang produktif dan utang konsumtif. Utang produktif 
adalah utang yang kita gunakan untuk membeli aset produktif. Aset 
produktif, yakni aset yang nilainya terus meningkat atau menghasilkan 
nilai yang lebih besar dari cicilan utang. Termasuk di sini adalah 
kredit pemilikan rumah (KPR), kredit investasi, atau kredit modal kerja.
Sebaliknya, segala jenis utang yang kita manfaatkan
 untuk membeli aset konsumtif dinamakan utang konsumtif. Misal, kartu 
kredit untuk belanja barang di mal atau makan di restoran.
Para perencana keuangan menyarankan, jika memang 
terdesak berutang, ada baiknya Anda berutanguntuk pembelian aset 
produktif. Jika memang perlu memakai kartu kredit, pastikan 
penggunaannyauntuk mendukung kemudahan transaksi saja, bukan sebagai 
kartu utang apalagi “tambahan”diagnosis keuangan.
Ada beberapa rumus yang bisa Anda gunakan untuk 
mengecek masalah utang piutang ini. Pertama, rasio utang terhadap aset, 
yaitu perbandingan antara total utang dibagi total aset. Rasio ini 
digunakan untuk mengukur kemampuan kita membayar utang. Angkanya harus 
lebih kecil dari 50%.
Kedua, rasio kemampuan pelunasan utang (debt 
service ratio). Rumus ini menghitung perbandingan antara total 
pembayaran utang per bulan dibagi penghasilan bulanan pencari nafkah 
utama. “Rasionya maksimal 30%. Jika angkanya mencapai 45%, sudah 
dikategorikan berbahaya,” jelas Pandji Harsanto, perencana keuangan dari
 Fin-Ally Financial Planning and Consulting.
Batas maksimal cicilan utang disepakati sebesar 30%
 jika itu berupa utang konsumtif. “Angkanya boleh hingga 40% jika 
digabungkan dengan utang produktif,” imbuh Eko.
Angka itu untuk menunjukkan seberapa banyak dana 
dari penghasilan si pencari nafkah utama untuk membayar cicilan utang. 
Jadi, rasio yang dihitung bukanlah dari total penghasilan bersama suami 
dan istri alias joint income.
Ketiga, rasio pelunasan utang non-hipotek. Angka ini untuk mengukur kemampuan pelunasan utang  konsumtif. Bisa dihitung dengan membagi total pembayaran cicilan non-hipotek per bulan dengan
penghasilan utama per bulan. Rasio maksimal adalah 
15%. Jika ternyata angkanya melampaui 20%, itu peringatan bahwa kondisi 
keuangan Anda tidak sehat akibat beban utang konsumtif.
2. Bandingkan manfaat
Anda sudah mengukur rasio utang dalam buku 
keuangan. Agar kesehatan keuangan terjaga, perlu juga bagi kita mengukur
 manfaat utang yang hendak kita ambil atau utang lama yang sudah 
berjalan.
Apakah manfaat dari berutang itu lebih besar 
dibandingkan dengan biaya yang timbul akibat utang itu? “Jika lebih 
besar biaya dibanding manfaat, maka Anda perlu merestrukturisasi utang,”
 saran Diana.
Caranya, bisa dengan melunasi lebih cepat 
utang-utang yang tidak ekonomis. Bisa juga melakukan utang baru berbiaya
 murah. Langkah ini jamak dilakukan oleh korporasi untuk meringankan 
beban utangnya.
Utang-utang konsumtif ada baiknya terlebih dahulu 
dibereskan. Sedangkan, utang produktif bisa Anda periksa lagi biayanya. 
Jika memang memungkinkan, melunasi utang lebih cepat bisa menjadi 
langkah positif bagi keuangan Anda.
Anda harus waspada jika sudah menunjukkan 
tanda-tanda terkena penyakit utang. Perilaku gali lubang dan tutup 
lubang alias menggunakan utang baru untuk menutup utang lama bisa jadi 
indikasi bahwa utang mulai menjerat Anda.
Selain itu, ketika Anda cuma membayar cicilan 
minimum sebagai syarat pelunasan agar tidak default (gagal bayar), itu 
juga menandakan perilaku utang Anda tak sehat.
Begitu juga ketika Anda menutup pengeluaran sehari-hari dengan kartu 
kredit karena tidak punya sumber dana lain. “Ciri lain, jika Anda tidak 
mengetahui total utang sendiri dan kepada siapa saja berutang,” imbuh 
Diana.
3. Bereskan segera!
Lantas, bagaimana jadinya jika kondisi keuangan 
kita sudah telanjur karut-marut akibat masalah utang? Rasio-rasio utang 
telah menunjukkan warna merah, apa yang harus kita lakukan?
Diana memberikan beberapa tip agar masalah utang 
tak semakin runyam membelit Anda. Pertama, coba inventaris lagi semua 
utang yang Anda miliki, termasuk utang kepada keluarga dan rekan. Adapun
 untuk utang kepada lembaga keuangan, pastikan lagi berapa besar bunga 
kredit dan sudah berapa lama Anda menunggak cicilan.
Kedua, buatlah prioritas pelunasan utang, mulai 
dari utang yang berbiaya paling besar. Ingat, biaya utang tak cuma 
berupa bunga, lo. Perhatikan dan hitung pula denda keterlambatan, biaya 
administrasi kredit, juga skema hitungan bunganya. Dari sana Anda bisa 
membandingkan mana utang yang paling murah dan mana yang paling mahal.
Ketiga, bayarlah utang Anda di atas cicilan 
minimum. Tujuannya, supaya pelunasan bisa lebih cepat.Keempat, jika 
memang mendesak, jual saja sebagian aset Anda untuk melunasi 
utang-utang.
Kelima, jika ternyata Anda sudah tidak mampu 
membayar utang, cobalah melobi kreditur. Anda bisa meminta pembuatan 
perjanjian agar utang Anda dijadikan cicilan tetap, tidak lagi 
diperhitungkan sebagai bunga berjalan. “Negosiasikan lagi bunga yang 
dikenakan dan jadwal pembayaran, sesuai kemampuan Anda agar tidak 
menunggak. Ingat, ini kesempatan terakhir Anda, jangan disia-siakan,” 
andas Diana.
Keenam, ketika semua utang sudah lunas, gunakan 
jatah cicilan utang itu untuk memulai berinvestasi. Terakhir, yang tak 
kalah penting, ingat-ingat saja pengalaman utang nan pelik itu agar Anda
 selalu berpikir matang sebelum memutuskan berutang lagi.
Para perencana keuangan sepakat, meski bukan 
strategi tabu untuk mengerek kapitalisasi aset, erutang tetap saja bukan
 pilihan terbaik untuk itu. Menjalankan gaya hidup sesuai kemampuan 
finansial yang kita miliki adalah prinsip utama. Jika Anda sudah cukup 
nyaman tanpa utang, mengapa juga tergiur godaan berutang?
Bagaimanapun, wajah keuangan dengan nilai utang 
minim adalah lebih sehat ketimbang kantong yang bolong akibat penuh 
utang. Jadi, sudah siap menjaga kocek sehat dari utang-utang tak sehat? 
Semua kembali pada pilihan Anda.
Sosiolog Daniel Bell menyebut sistem pembelian 
dengan cara utang yang terepresentasikan oleh kartu kredit sebagai satu 
dari dua penemuan manusia paling menakutkan setelah mesiu.
Kartu kredit bersanding dengan iklan, dalam 
kacamata Bell, telah mendekonstruksi paradigma berpikir masyarakat 
tentang prinsip pengendalian diri. Teriakan Bell tahun 1960-an itu 
sepertinya masih relevan diungkit di hari-hari ini.
Di ranah pribadi, kita bisa merasakan sendiri 
gempuran varian produk kartu kredit lewat iklan. Iming-iming “kemudahan”
 transaksi dengan kartu kredit, mulai dari belanja baju, tiket pesawat, 
dan sebagainya, silih berganti menggoda.
Jika Anda menilai hidup Anda bisa lebih mudah 
dengan kartu kredit, tak soal memutuskan memiliki kartu kredit. Kuncinya
 tetap pada pengendalian diri. Menggunakan dengan bijak sembari melihat 
celah pemanfaatan secara optimal bisa menghindarkan Anda dari jebakan 
pahit kartu kredit.
Produk kartu kredit menawarkan keunggulan diskon 
harga bekerjasama dengan vendor tertentu. Alih-alih memanfaatkan diskon 
itu untuk keperluan konsumsi semata, mengapa tidak mencoba mengubahnya 
menjadi instrumen produktif?
Misal, memakai kartu kredit untuk kulakan barang 
diskon lantas dijual kembali dengan margin di atas bunga utang. “Sistem 
pembelian seperti ini bisa saja dilakukan bila kita sudah tahu arus 
barang dagangan yang dibelijualkan, juga kepastian jumlah yang dapat 
dijual kembali,” kata Pandji Harsanto, perencana keuangan dari Fin-Ally 
Financial Planning and Consulting
Anda bisa mengejar pembayaran tagihan sebelum jatuh
 tempo sehingga Anda terbebas dari bunga. Alhasil, kartu kredit yang 
identik sebagai utang konsumtif bisa Anda ubah menjadi modal usaha. 
Tentu saja, itu bisa ditempuh setelah Anda cermat dan matang menghitung 
untung ruginya!
B. Temuan Menakutkan Abad Modern
Saya sering sedih melihat permasalahan buruh di 
Indonesia. Ini adalah kelompok yang sering berdemonstrasi memperjuangkan
 apa yang menurut mereka adalah hak sebagai pekerja. Salah satu yang 
sering menjadi tuntutan adalah upah minimum. Kesedihan saya bukan soal 
demonstrasinya, tapi soal kesejahteraan mereka.
Penghasilan buruh yang 
meningkat tidak dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan. Sebab, para 
buruh memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan keuangan.
Lalu, seperti berjodoh, bulan lalu saya mendapat 
kesempatan hadir menjadi pembicara seminar di hadapan buruh sebuah 
pabrik plastik. Kegiatan ini kami lakukan sebagai sebuah rangkaian 
kegiatan sehingga bisa betul-betul mengajak para buruh melakukan praktik
 perbaikan kondisi keuangan. Ada beberapa hal yang menjadi diskusi 
penting tersebut.
C. Pengaturan arus kas
Saat menerima penghasilan, para buruh perlu 
mengerti bahwa pengeluaran terbagi menjadi 4 kategoriesar: tabungan atau
 investasi, cicilan utang, pengeluaran rutin, dan lifestyle.
Mungkin ada yang tidak percaya para buruh memiliki 
pengeluaran lifestyle. Ternyata, bahkan di level buruh sekalipun, dengan
 penghasilan yang serba terbatas, lifestyle tetap menjadi masalah besar.
 Hasil diskusi dengan para buruh menunjukkan bahwa banyak buruh memilih 
untuk mementingkan biaya pulsa dan rokok daripada menabung untuk biaya 
sekolah anak.
Salah satu cara yang sederhana untuk belajar 
mengatur arus kas adalah dengan sistem amplop. Sistem amplop ini bisa 
membantu kita memilah-milah uang berdasarkan pos pengeluaran yang ada. 
Dengan cara ini kita jadi bisa melihat ke mana saja uang kita pergi dan 
sadar akan pengeluaran setiap bulan.
D. Tujuan finansial: rumah
Saya senang sekali ketika banyak buruh ini sudah 
memiliki cita-cita. Orang yang memiliki cita-cita akan memiliki semangat
 lebih banyak untuk maju. Salah satu cita-cita yang banyak menjadi 
bahasan dalam kunjungan pabrik itu adalah rumah.
Ya, memiliki rumah sendiri adalah sebuah 
kebanggaan. Kebanyakan orang akan membeli rumah dengan cara kredit bank.
 Maka penting kita memiliki kemampuan menabung agar bisa mengumpulkan 
down payment rumah yang kita inginkan.
Selanjutnya soal cicilan KPR. Kita perlu membatasi 
total cicilan kita hingga maksimal 30% dari penghasilan bulanan. Maka, 
saya mengingatkan para buruh ini agar berhati-hati saat tergiur mencicil
 barang-barang konsumtif. Jangan sampai punya telepon seluler baru 
dengan mencicil, tapi tidak sanggup lagi membayarkan cicilan KPR.
E. Bereskan segera
Semua orang, termasuk para buruh, perlu untuk 
berinvestasi. Namun jenis investasi yang cocok bagi setiap orang akan 
berbeda-beda. Soal investasi ini, harus hati-hati. Jangan sampai masuk 
ke dalam produk yang mereka tidak mengerti.
Jadi, rekomendasi untuk buruh di pabrik plastik ini
 saya batasi pada produk tabungan, deposito, emas Logam Mulia, rumah 
petak, atau kepemilikan ternak dan sawah. Diskusi dengan para buruh pun 
menjadi seru. Mereka bersemangat karena membayangkan uang yang bekerja 
untuk mereka.
Tapi ternyata, tak bisa menganggap remeh wawasan 
finansial buruh. Ada beberapa yang pengetahuannya bahkan sudah lebih 
banyak. Saya sempat kaget karena ada di antara para buruh ini yang sudah
 mulai berinvestasi di reksadana!
Ketiga hal penting itu tentu bisa dipraktikkan oleh
 semua orang dengan latar belakang yang beragam. Tapi, lalu saya pun 
jadi gemas. Para buruh saja bersedia melakukan perbaikan pada kondisi 
keuangan mereka, tapi masih banyak mereka yang karyawan, yang 
pendidikannya lebih tinggi, penghasilannya jauh lebih besar, masih tidak
 peduli pada proses perbaikan keuangan ini.
Kesimpulan saya setelah beberapa kali kunjungan ke 
pabrik tersebut, ternyata para buruh di sana adalah orang-orang yang 
sangat optimistis dan ingin belajar. Tentu saja saya sangat senang 
karena artinya banyak harapan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan 
buruh. Mudah-mudahan bukan saja upahnya yang meningkat, tapi juga 
dibarengi dengan kemampuan meningkatkan jumlah tabungan dan investasi 
mereka.
Tentu ada proses. Kesejahteraan tidak bisa terjadi 
dalam sekejap. Saya berharap, para buruh segera merasakan proses bisa 
menabung, berinvestasi, memiliki rumah, menyekolahkan anak, dan pensiun.
Perbaikan kesejahteraan buruh adalah bagian penting dalam upaya 
memperkuat golongan menengah. Buruh yang sejahtera akan berkontribusi 
pada kekuatan ekonomi Indonesia. Kalau para buruh saja bisa mengupayakan
 menabung, apalagi mereka yang bekerja sebagai karyawan. Jadi, bagaimana
 dengan Anda? Apa yang sudah Anda lakukan untuk bisa memperkuat keuangan
 Anda sendiri?
Sumber dari :
investasi.kontan.co.id/news/tips-mengelola-utang-agar-keuangan-terjaga







0 komentar:
Post a Comment